Notification

×

Iklan

Iklan

Remaja dan Lingkaran Kekerasan: Usulan Rumah Pemulihan Anak sebagai Terobosan Perlindungan Sosial

Rabu, 07 Mei 2025 | 20:11 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-07T13:11:41Z


Kasus tawuran antar remaja di kawasan Semampir, Surabaya, kembali menyulut kekhawatiran publik. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mengusulkan pendekatan sistemik berbasis rehabilitasi melalui pendirian Rumah Pemulihan Anak (RPA) sebagai respons terhadap maraknya kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja.


Surabaya, kota dengan predikat Kota Layak Anak, kembali diguncang realitas kelam: tawuran antar kelompok remaja pecah di kawasan Tenggumung Karya Lor, Semampir, pada Senin (7/4/2025) dini hari. Peristiwa itu menambah daftar panjang insiden kekerasan yang melibatkan anak dan remaja.


M Isa Ansori, pengurus LPA Jawa Timur sekaligus pemerhati kebijakan sosial, menilai bahwa peristiwa ini bukanlah insiden tunggal, melainkan cerminan dari krisis sosial yang lebih dalam. "Ini alarm bahwa kita sedang mengalami krisis moral yang serius pada anak-anak kita, terutama yang beranjak remaja," ujarnya, Senin (5/5/2025).


Menurut Isa, maraknya kekerasan, penolakan terhadap sekolah, hingga aksi brutal yang dilakukan remaja menunjukkan bahwa pendekatan reaktif tak lagi memadai. Negara perlu hadir lebih awal, bukan sekadar menunggu laporan.


"Kekerasan anak terhadap orang tua, tawuran, atau perilaku antisosial lain tak bisa lagi dianggap sebagai masalah keluarga semata. Ini sudah menjadi gejala sosial yang darurat dan memerlukan keterlibatan aktif negara," tegasnya.


Kritik terhadap Kebijakan Saat Ini:

Isa mengkritik pendekatan negara yang cenderung pasif. Ia menilai, negara belum optimal memanfaatkan data sosial yang tersedia. Padahal, menurutnya, dengan akses terhadap big data—mulai dari catatan kriminal, pendidikan, hingga laporan masyarakat—negara seharusnya mampu mendeteksi potensi kekerasan sejak dini.


Mengacu pada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Isa menegaskan bahwa negara memiliki dasar hukum untuk melakukan intervensi dalam pengasuhan anak ketika terjadi kondisi darurat. Namun, ia menolak gagasan bahwa intervensi tersebut identik dengan hukuman.


"Ini bukan soal menghukum, tapi melindungi. Anak tetap berhak mendapatkan pendidikan, kasih sayang, serta pembinaan karakter, meskipun dalam bentuk pengasuhan alternatif yang lebih terstruktur dan aman," ujarnya.


Usulan Rumah Pemulihan Anak (RPA):

Sebagai solusi, Isa mengusulkan pembentukan Rumah Pemulihan Anak (RPA) yang menggabungkan rehabilitasi sosial dan pendidikan karakter. RPA ini dirancang sebagai ruang alternatif bagi remaja pelaku kekerasan yang tak lagi bisa ditangani dalam sistem pengasuhan konvensional.


"Anak-anak ini butuh lingkungan yang aman dan suportif, bukan sekadar dihukum atau dipinggirkan. RPA memungkinkan mereka menjalani pemulihan melalui pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, dan pendidikan vokasional," paparnya.


Ia menambahkan, RPA dapat dibangun melalui kolaborasi lintas sektor—melibatkan dinas sosial, kepolisian, dinas pendidikan, hingga organisasi masyarakat sipil. Penempatan anak di RPA dapat dilakukan melalui asesmen psikologis, rekomendasi pengadilan, atau laporan sosial dari pemerintah daerah.


Surabaya sebagai Pilot Project:

Surabaya, dengan segala infrastrukturnya seperti rumah singgah, sekolah alternatif, hingga lembaga konseling, dinilai sebagai lokasi yang ideal untuk uji coba RPA. Menurut Isa, komitmen pemerintah kota terhadap isu perlindungan anak juga sudah cukup kuat untuk mewujudkan model ini.


"Pilot project ini bisa dimulai dari anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, mengalami putus sekolah, hingga mereka yang sudah terjerat sistem hukum. Kita butuh pendekatan yang lebih manusiawi, bukan pendekatan yang hanya fokus pada hukuman," ucapnya.


Namun, ia juga menyoroti bahwa program yang selama ini berjalan cenderung ragu dalam bertindak tegas karena khawatir dianggap melanggar hak anak. Padahal, dalam situasi tertentu, ketegasan adalah bentuk perlindungan.


"Sudah saatnya negara hadir dengan ketegasan yang penuh kasih sayang. Anak-anak yang perilakunya berisiko membahayakan dirinya dan orang lain perlu pendekatan yang tegas tapi tidak represif," katanya.


Mengatasi Akar Masalah:

Isa menekankan bahwa kekerasan remaja tidak lahir begitu saja. Banyak faktor struktural yang melatarbelakanginya—dari tekanan ekonomi, minimnya akses pendidikan, hingga lingkungan yang tidak mendukung perkembangan anak.


"Kegagalan pengasuhan bukan semata-mata kesalahan keluarga. Ini juga soal sistem sosial kita yang belum memberi ruang bagi tumbuh kembang anak secara menyeluruh. Ketika keluarga menyerah, negara tidak boleh ikut menyerah," tegasnya.


Menurutnya, jika dibiarkan, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan akan menginternalisasi kekerasan sebagai norma. Hal ini tidak hanya merusak masa depan anak itu sendiri, tetapi juga tatanan sosial secara keseluruhan.


"RPA bukan hanya tentang pemulihan anak, tapi juga pemulihan masyarakat. Karena anak-anak ini pada akhirnya akan kembali ke masyarakat. Pertanyaannya: mau kita terima mereka dalam kondisi yang lebih baik, atau lebih buruk?"


Usulan RPA dari LPA Jawa Timur menegaskan perlunya pendekatan baru dalam perlindungan anak yang lebih integratif, partisipatif, dan berbasis data. Dalam konteks ini, pembinaan bukan lagi sekadar urusan keluarga, tapi tanggung jawab kolektif antara masyarakat dan negara.


"Menahan kekerasan sejak dini adalah bentuk perlindungan. Menjaga anak dari lingkungan yang membentuknya menjadi pelaku adalah bentuk kasih sayang. Dan memulihkan mereka, adalah tugas kita bersama sebagai bangsa," pungkas Isa.


×
Berita Terbaru Update