Musyawarah Nasional (Munas) VII Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) 2025 yang digelar di Surabaya pada 6–10 Mei menjadi momentum penting bagi 98 wali kota dari seluruh Indonesia. Mereka berkumpul untuk membahas arah baru pemerintahan kota, dengan sorotan utama pada dua program strategis: Sekolah Rakyat dan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.
Acara lima hari ini tidak hanya menghadirkan para kepala daerah, tetapi juga akan dihadiri Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, serta para menteri terkait. Uniknya, perhelatan ini turut menggandeng anak muda dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Youth City Changers (YCC), memberi warna baru dalam proses perumusan kebijakan kota.
Ketua Dewan Pengurus APEKSI, Eri Cahyadi, menyebut bahwa Munas ini adalah panggung refleksi dan integrasi lintas kota untuk menjawab tantangan pembangunan urban yang semakin kompleks. "Tanggal 6–7 itu ada Youth City Changers, anak-anak muda dari seluruh Indonesia berkumpul di Surabaya untuk memberikan masukan kepada pemerintah kota mereka masing-masing," ungkap Eri dalam konferensi pers, Jumat (2/5/2025).
Masukan dari generasi muda dianggap penting sebagai bagian dari kebijakan berbasis partisipasi warga. Para peserta YCC diharapkan mampu menyuarakan aspirasi dan gagasan yang konkret tentang isu-isu urban, seperti pengangguran, pendidikan, lingkungan, hingga ruang publik yang inklusif.
Fokus utama Munas APEKSI kali ini adalah pengembangan program Sekolah Rakyat dan Kopdes Merah Putih. Keduanya merupakan program strategis dari pemerintah pusat yang bertujuan memberdayakan masyarakat melalui pendidikan dan ekonomi lokal.
Sekolah Rakyat: Pendidikan Alternatif untuk Pemerataan
Sekolah Rakyat menjadi sorotan karena menjanjikan model pendidikan berbasis masyarakat. Namun, penerapannya di wilayah perkotaan masih menghadapi hambatan struktural, terutama keterbatasan lahan. Berdasarkan ketentuan dari Kementerian Sosial RI, Sekolah Rakyat idealnya dibangun di atas lahan seluas lima hektare. Sayangnya, banyak kota tidak memiliki lahan seluas itu.
"Kami di kota rata-rata tidak punya lahan 5 hektare. Tapi kami ingin mendukung kebijakan Presiden. Makanya kami usulkan, bagaimana kalau Sekolah Rakyat di kota dibuat terpisah-pisah, misalnya SD sendiri, SMP sendiri, SMA sendiri," jelas Eri yang juga menjabat sebagai Wali Kota Surabaya.
Usulan ini menjadi pembahasan penting karena menyangkut fleksibilitas dalam implementasi program nasional di level lokal. Pemerintah kota ingin terlibat aktif tanpa melanggar ketentuan pusat, sambil mencari solusi konkret sesuai karakter wilayahnya.
Kopdes Merah Putih: Membangun Sinergi Ekonomi Kota-Desa
Sementara itu, program Kopdes Merah Putih yang awalnya dirancang untuk desa-desa, menjadi tantangan tersendiri bagi kota-kota besar yang secara geografis minim lahan pertanian dan peternakan. Namun Eri mengusulkan solusi kolaboratif antara koperasi kelurahan dengan Kopdes di wilayah sekitar.
"Kota ini rata-rata konsumen, bukan produsen. Maka kami ingin sampaikan ide agar koperasi kelurahan di kota bisa menjalin kerja sama langsung dengan Kopdes. Misalnya, kalau Surabaya butuh pasokan telur untuk hotel dan rumah makan, maka bisa diambil dari Kopdes di Blitar," papar Eri.
Model sinergi ini menjadi strategi adaptif untuk menjembatani kebutuhan kota dan potensi desa. Konsep koperasi kelurahan sebagai penghubung antara konsumen kota dan produsen desa berpotensi menciptakan rantai pasok yang stabil dan saling menguntungkan.
Kolaborasi Antar-Kepala Daerah dan Arahan Presiden
Sebelum kedua program tersebut diimplementasikan, Eri menegaskan pentingnya diskusi dan pertukaran gagasan antar-wali kota. Forum Munas menjadi wadah strategis untuk menyatukan visi dan merumuskan strategi bersama yang adaptif terhadap kebutuhan lokal.
"Kami ingin semua kepala daerah punya persepsi yang sama, saling berbagi pengalaman, agar program ini tidak hanya berhenti di ide, tapi bisa jalan di semua kota," tegas Eri.
Selain itu, Munas APEKSI juga menjadi ajang meminta arahan langsung dari Presiden Prabowo. Harapannya, pemerintah pusat memahami dinamika di daerah dan memberikan fleksibilitas dalam implementasi kebijakan.
"Kami akan minta masukan dan arahan Presiden, karena dalam praktiknya, banyak hal teknis yang perlu disesuaikan. Kami tidak bisa kerja sendiri, harus ada koordinasi dengan pusat," tambah Eri.
Menggandeng Generasi Muda untuk Masa Depan Kota
Partisipasi generasi muda melalui YCC bukan hanya simbolis, tapi mencerminkan perubahan paradigma bahwa pembangunan kota tidak bisa lepas dari aspirasi warganya. Isu-isu seperti digitalisasi, ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan keterbatasan ruang hidup membutuhkan pendekatan lintas generasi.
Munas APEKSI VII diharapkan menjadi titik balik dalam menyusun kebijakan yang lebih partisipatif, berkelanjutan, dan responsif terhadap realitas lokal.
Dengan menempatkan pendidikan dan ekonomi sebagai isu sentral, Munas APEKSI VII memperlihatkan komitmen kota-kota di Indonesia untuk lebih mandiri dan adaptif. Tantangan seperti keterbatasan lahan dan perbedaan kapasitas antarwilayah tidak bisa dihindari, tapi dapat diatasi dengan inovasi dan kolaborasi.
Surabaya sebagai tuan rumah bukan hanya menjadi tempat pertemuan, tetapi simbol semangat baru pemerintahan kota yang inklusif dan transformatif. Dengan melibatkan pemimpin muda, kepala daerah, dan pemerintah pusat, Munas APEKSI VII menjadi contoh konkret bagaimana proses perumusan kebijakan bisa dilakukan secara partisipatif dan terukur.
Kita akan menunggu apakah semangat dan gagasan dari Munas ini benar-benar terwujud dalam bentuk kebijakan nyata di lapangan.
