Surabaya — Dugaan praktik penahanan ijazah oleh perusahaan di Surabaya kembali mencuat ke publik. Kasus yang awalnya menyoroti satu entitas usaha, yakni UD Sentosa Seal, kini berkembang menjadi temuan lebih luas yang melibatkan sedikitnya 12 titik perusahaan di wilayah Surabaya. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Timur mengungkap bahwa 31 mantan karyawan yang mengajukan laporan tidak berasal dari satu lokasi, melainkan dari berbagai perusahaan berbeda.
Kepala Bidang Pengawasan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Disnakertrans Jatim, Tri Widodo, menjadi figur sentral dalam pengungkapan kasus ini. Dalam pernyataannya pada Rabu (16/4/2025), ia menyebut bahwa Disnakertrans telah melakukan Berita Acara Pemeriksaan Ketenagakerjaan (BAPK) terhadap pemilik UD Sentosa Seal, Diana, yang hadir secara langsung bersama suaminya ke kantor Disnakertrans.
"Kami mengapresiasi kehadiran Ibu Diana dan suaminya. Kehadiran mereka menunjukkan niat baik untuk kooperatif dalam proses penyelidikan," ujar Widodo.
Namun, kooperatif bukan berarti mengakui. Dalam BAPK, Diana bersikukuh tidak mengetahui ihwal penahanan ijazah maupun keterkaitannya dengan 31 pelapor. "Saya bahkan mengingatkan, masak dari 31 orang itu tidak satu pun diingat," tambah Widodo dengan nada heran.
Jaringan Perusahaan yang Belum Terpetakan
Fakta bahwa pelapor berasal dari 12 titik berbeda menambah kompleksitas perkara. Widodo menjelaskan, para pelapor mengaku bekerja di lokasi yang berbeda namun memiliki pola rekrutmen yang serupa. Mereka mendapatkan informasi lowongan kerja melalui media sosial, diarahkan ke seseorang yang melakukan seleksi, lalu dipertemukan dengan manajer. Dalam proses tersebut, ijazah mereka ditahan dengan alasan sebagai bentuk jaminan kerja.
"Polanya berulang. Seolah-olah disengaja agar tidak terlacak sebagai satu entitas yang saling terhubung. Ini yang sedang kami telusuri," terang Widodo.
Ketika ditanya soal apakah semua titik perusahaan tersebut berada di bawah kendali Diana, Disnakertrans belum bisa memastikan. Diana sendiri belum mengakui kepemilikan atau keterkaitan dengan perusahaan-perusahaan lain selain UD Sentosa Seal.
Tidak Hanya Ijazah, Tapi Hak Pekerja
Lebih dari sekadar penahanan ijazah, laporan dari para mantan pekerja juga menyebutkan adanya dugaan pelanggaran lain, seperti pembayaran upah di bawah ketentuan minimum, tidak adanya pembayaran lembur, serta ketiadaan kepesertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
"Awalnya memang yang dilaporkan hanya ijazah, tetapi kini berkembang. Ini menandakan adanya potensi pelanggaran sistemik dalam tata kelola ketenagakerjaan di lingkungan perusahaan tersebut," ujar Widodo.
Minimnya Jejak Legalitas
Satu lagi aspek yang menjadi sorotan adalah status legalitas dari UD Sentosa Seal dan titik-titik usaha lainnya. Menurut Widodo, pihaknya belum menerima data lengkap terkait izin usaha dari Pemerintah Kota Surabaya.
"Sebelumnya kami hanya tahu lokasi di Margomulyo. Namun hari ini baru kami ketahui bahwa ada 12 titik. Semua masih berlokasi di Surabaya, dan ini memperluas cakupan penyelidikan kami," katanya.
Disnakertrans juga belum bisa menyimpulkan apakah titik-titik perusahaan tersebut memiliki struktur manajemen yang sama atau hanya beroperasi secara informal namun saling terhubung dalam jejaring bisnis tertentu.
Langkah Selanjutnya: Pemeriksaan dan Penegakan Hukum
Widodo menegaskan bahwa pihaknya kini fokus memperdalam keterangan dari 31 mantan karyawan. Mereka akan dipanggil untuk menjalani BAPK demi memperkuat data dan menelusuri hubungan kerja yang terjadi. Menurutnya, proses ini penting untuk menentukan tanggung jawab hukum dari pihak-pihak yang terlibat.
"Kalau nanti dalam pemeriksaan ditemukan unsur pelanggaran, kami akan keluarkan nota pemeriksaan pertama dengan batas waktu 30 hari. Bila tidak ditanggapi, akan kami lanjutkan ke nota kedua dengan waktu 7 hari. Jika tetap tidak ada respons, maka kami akan gelar perkara dan bisa dilimpahkan ke pengadilan," ujar Widodo.
Pihaknya belum mengambil langkah inspeksi mendadak (sidak) karena masih memfokuskan penyusunan peta dugaan pelanggaran. "Kalau langsung sidak tanpa data lengkap, kami khawatir langkahnya tidak efektif," katanya.
Konfirmasi dan Tantangan Hukum
Kasus ini bukan hanya menguji efektivitas sistem pengawasan ketenagakerjaan, tetapi juga memperlihatkan tantangan dalam membuktikan hubungan kerja secara formal di tengah praktik informal yang marak terjadi. Tanpa kontrak tertulis, struktur organisasi yang jelas, atau pencatatan resmi, membuktikan keterkaitan antara pelapor dan terlapor menjadi persoalan tersendiri.
Widodo pun menambahkan, meski ada dugaan kuat bahwa praktik penahanan ijazah dilakukan secara sistemik, pihaknya harus tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian hukum.
"Kami tidak bisa asal menuduh. Harus ada bukti, dan itulah yang sedang kami kumpulkan melalui BAPK dan investigasi lanjutan," katanya.
Respons Diana: Tidak Ingat dan Tidak Mengakui
Dalam pertemuan pemeriksaan, Diana berkukuh bahwa dirinya tidak mengenal 31 pelapor dan tidak pernah menahan ijazah siapa pun. Bahkan ketika ditunjukkan data pelapor, Diana menyatakan lupa atau tidak mengingat mereka.
"Dia tidak mengakui hubungan kerja, dan itu menjadi tantangan dalam proses pembuktian," jelas Widodo.
Meski demikian, Widodo menyatakan bahwa Disnakertrans tetap membuka ruang klarifikasi dan menunggu jawaban dari pihak terlapor jika proses nota pemeriksaan dimulai.
Kesimpulan Sementara
Kasus dugaan penahanan ijazah yang semula hanya menyentuh satu perusahaan kini menjelma menjadi persoalan yang lebih besar. Indikasi adanya jaringan perusahaan dengan pola rekrutmen seragam, pelanggaran hak-hak pekerja, dan minimnya kejelasan legalitas, menjadi tanda serius bagi pemerintah daerah dan penegak hukum untuk bertindak.
Disnakertrans Jatim berjanji akan terus menggali fakta demi menjamin perlindungan tenaga kerja di Jawa Timur. "Kami berkomitmen menyelesaikan ini sampai tuntas," pungkas Widodo.
(Tulisan ini telah disesuaikan dengan gaya jurnalisme investigatif dan naratif ala Tempo, untuk memberikan laporan yang lebih dalam dan komprehensif kepada publik.)
