Sejarah kepemimpinan Indonesia menunjukkan adanya pola pergantian antara pemimpin berlatar belakang sipil dan militer.
Pola ini bukan sekadar kebetulan, melainkan mencerminkan dinamika politik, keamanan, serta persepsi masyarakat terhadap kekuasaan.
Setiap kali unsur sipil berkuasa, militer cenderung mengambil peran sebagai kekuatan semi-oposisi yang kritis terhadap kebijakan pemerintahan.
Sebaliknya, ketika militer memimpin, muncul kecenderungan membangun sistem politik yang lebih hierarkis, patuh pada komando, dan menuntut loyalitas penuh.
Tulisan ini akan menganalisis fenomena ini dengan pendekatan historis dan ilmiah, melihat bagaimana pola ini terbentuk, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta dampaknya bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Sejarah Pola Pergantian Kepemimpinan Sipil dan Militer
Dalam sejarah Indonesia, kepemimpinan nasional selalu berada dalam dua spektrum: sipil dan militer. Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan yang memperlihatkan pola ini:
1. Soekarno (1945-1967) – Pemimpin Sipil Berbasis Nasionalisme Revolusioner
Soekarno merupakan pemimpin sipil dengan latar belakang perjuangan politik dan pergerakan nasional. Namun, dalam menjalankan kekuasaannya, ia tetap bergantung pada kekuatan militer, terutama dalam menghadapi ancaman separatisme dan pemberontakan bersenjata.
Namun, di era Demokrasi Terpimpin, hubungan sipil-militer mulai retak, terutama karena ketegangan antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
2. Soeharto (1967-1998) – Kepemimpinan Militeristik dengan Doktrin Dwi Fungsi ABRI
Setelah peristiwa 1965, militer mengambil alih kendali negara dengan Soeharto sebagai pemimpin. Model kepemimpinannya berbasis militeristik dengan kontrol ketat terhadap politik dan kebebasan sipil.
Konsep Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menempatkan militer tidak hanya sebagai penjaga keamanan tetapi juga aktor politik utama.
Di era ini, oposisi dari kalangan sipil, khususnya mahasiswa dan kelompok kiri, menjadi lebih intens hingga berujung pada gerakan Reformasi 1998.
3. Era Reformasi (1999-sekarang) – Kembalinya Kepemimpinan Sipil
Setelah Reformasi, Indonesia kembali ke kepemimpinan sipil dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi), hingga Prabowo Subianto (terpilih untuk 2024-2029).
- SBY (2004-2014): Meski berlatar belakang militer, kepemimpinannya cenderung moderat dan berorientasi demokrasi.
- Jokowi (2014-2024): Figur sipil yang menguatkan peran profesionalisme militer dalam pertahanan, tetapi menghindari dominasi militer dalam politik.
- Prabowo (2024-2029): Kembali mengangkat kepemimpinan berlatar belakang militer, berpotensi mengulang pola penguatan loyalitas dan komando dalam pemerintahan.
Mengapa Pola Ini Terus Berulang?
Persepsi Militer terhadap Sipil sebagai Pemimpin yang Lemah
Dalam doktrin militer, kepemimpinan sipil sering dipandang kurang tegas dalam menangani ancaman keamanan dan stabilitas negara.
Hal ini membuat militer cenderung mengambil peran sebagai "penyeimbang" atau bahkan oposisi informal terhadap pemerintahan sipil.
Militerisasi Politik Saat Militer Berkuasa
Ketika seorang pemimpin dari kalangan militer naik ke tampuk kekuasaan, ada kecenderungan untuk membangun sistem politik yang lebih disiplin, loyal, dan hirarkis.
Hal ini terlihat dalam masa Soeharto yang menempatkan militer di banyak posisi strategis dalam pemerintahan, dan kini dalam pemerintahan Prabowo yang mulai mengangkat banyak figur militer ke jabatan-jabatan penting.
Polarisasi Politik dan Warisan Sejarah
Sejarah perlawanan terhadap kepemimpinan militer oleh kelompok sipil, terutama mahasiswa dan aktivis, telah membentuk pola oposisi yang terus berulang.
Gerakan 1998 adalah contoh nyata bagaimana kepemimpinan militer menghadapi perlawanan besar dari sipil, dan pola ini bisa kembali terjadi di masa mendatang.
Kebutuhan Stabilitas vs. Kebebasan Demokrasi
Pemimpin militer sering dikaitkan dengan stabilitas, sementara pemimpin sipil lebih berorientasi pada kebebasan dan demokrasi.
Dalam situasi krisis, masyarakat cenderung lebih memilih figur militer untuk memimpin, sementara dalam kondisi stabil, sipil lebih diterima.
Implikasi bagi Masa Depan Demokrasi Indonesia
Pergantian kepemimpinan antara sipil dan militer ini akan terus terjadi jika tidak ada perubahan struktural dalam sistem politik Indonesia.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi ke depan adalah:
- Jika Prabowo sukses membangun stabilitas, kemungkinan besar militer akan kembali menjadi kekuatan dominan dalam politik Indonesia.
- Jika kepemimpinan Prabowo gagal atau terjadi ketidakpuasan publik, gerakan sipil akan kembali menguat sebagai oposisi, seperti yang terjadi pada 1998.
- Demokrasi akan diuji dengan bagaimana oposisi sipil dapat bertahan dan tetap kritis tanpa mengalami represi yang berlebihan.
Bagaimana Masa Depan Demokrasi Indonesia?
Fenomena pergantian kepemimpinan antara sipil dan militer di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Ini adalah pola yang telah terjadi sejak awal kemerdekaan dan terus berulang hingga saat ini.
Ketegangan antara sipil dan militer dalam pemerintahan mencerminkan dinamika kekuasaan yang masih belum menemukan keseimbangan ideal.
Kunci utama bagi masa depan demokrasi Indonesia adalah bagaimana membangun sistem politik yang mampu mengakomodasi peran militer tanpa mengorbankan supremasi sipil.
Jika tidak, pola ini akan terus berulang, dengan sipil dan militer saling bergantian mengisi kekuasaan tanpa menciptakan perubahan struktural yang signifikan.
Inspirasi tulisan dari status FB Kang Rozi :
