![]() |
| sumber foto//istimewa |
Belakangan ini, kita kembali menyaksikan dinamika sosial yang cukup memprihtinkan, di mana demontrasi menjadi medium ekspresi perlawanan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap mengancam prinsip-prinsip demokrasi.
Salah satunya adalah kontroversi RUU TNI, yang dinilai berpotensi memperluas peran militer dalam supremasi sipil. Ironisnya, perdebatan ini mengingatkan kita pada masa-masa kelam era Orde Baru, ketika TNI/ABRI memiliki wewenang yang sangat luas dan sering kali digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat serta mengendalikan masyarakat melalui cara-cara represif.
Pada intinya, gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil bukan semata-mata tentang protes terhadap satu regulasi, melainkan cerminan kegelisahan yang mendalam terhadap potensi terulangnya praktik-praktik otoritarianisme.
Jika diberi wewenang serupa dengan masa lalu, peran TNI yang seharusnya berfokus pada pertahanan negara malah bisa dimanfaatkan untuk menekan suara-suara kritis yang menjadi penjaga demokrasi.
Hal ini terlihat nyata dalam benturan yang kerap terjadi antara aparat kepolisian dengan demonstran di jalanan, di mana mahasiswa dan warga biasa menjadi korban dari kekuatan represif yang menjerat kebebasan berekspresi.
Situasi ini seolah memperingatkan kita bahwa setiap upaya untuk mengembalikan atau bahkan memperluas kekuasaan militer dalam ranah sipil harus dipertanyakan.
Sejarah telah mengajarkan, melalui era Orde Baru, bahwa kekuasaan yang terlalu terpusat pada aparat tertentu dapat membuka jalan bagi munculnya pemerintahan yang otoriter, di mana demokrasi dan hak asasi manusia hanya menjadi kata-kata belaka.
Demonstrasi yang terjadi bukan hanya merupakan seruan perlawanan terhadap RUU TNI, melainkan juga simbol perjuangan untuk menjaga agar demokrasi tetap hidup dan mencegah kembalinya bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk terus mengawasi dan mendiskusikan setiap langkah kebijakan yang dapat mengubah tatanan kekuasaan secara mendasar. Perlawanan melalui aksi protes, meskipun sering kali berujung pada benturan dengan aparat, tetap merupakan bentuk partisipasi politik yang sah.
Ini adalah panggilan untuk mengingat sejarah, belajar dari pengalaman pahit masa lalu, dan memastikan bahwa demokrasi tidak akan tergerus oleh ambisi kekuasaan yang berlebihan.
Akhirnya, kita harus ingat bahwa setiap demonstrasi adalah suara rakyat yang menuntut keadilan dan kebebasan.
Apabila polisi dan aparat negara tidak mampu menjalankan tugasnya dengan profesional dan manusiawi, maka masyarakat berhak untuk mempertanyakan serta menuntut perubahan, agar Negara tetap meperhatikan nilai-nilai demokrasi seutuhnya.
Namun, jika kita lihat lebih dalam, benturan antara mahasiswa dan polisi mengungkapkan sebuah ironi tragis. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak sipil dan kebebasan berekspresi, justru dihadapkan pada aparat yang telah dipolitisasi untuk menjalankan perintah represif.
Di sisi lain, polisi yang semula dimaksudkan sebagai pelindung keamanan dan ketertiban, terjebak dalam situasi yang memaksa mereka bertindak sebagai alat pengekangan suara rakyat.
Dengan demikian, keduanya, mahasiswa dan polisi, pada akhirnya menjadi korban dari sebuah sistem otoriter yang mengedepankan stabilitas semu atas nilai demokrasi.
Kebijakan pemerintah yang cenderung memanipulasi aparat untuk membungkam kritik dan perlawanan publik menciptakan dilema moral.
Polisi, yang seharusnya netral dan profesional, terpaksa bertindak dalam kerangka kerja yang justru menimbulkan kekerasan dan benturan. Sementara itu, mahasiswa yang berjuang demi keadilan dan transparansi malah harus menanggung konsekuensi dari tindakan represif tersebut.
Ironisnya, kedua pihak ini terjebak dalam peran yang diperankan oleh kekuatan politik yang tidak hanya menindas, tetapi juga mengikis nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.
Fenomena ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, ketika militer dan aparat negara diberi kekuasaan yang hampir tanpa batas untuk menekan setiap bentuk perbedaan pendapat.
Pelajaran sejarah tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Jika aparat keamanan digunakan sebagai senjata untuk menekan suara kritis, maka demokrasi itu sendiri akan terancam, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan semakin terkikis.
karenanya, sangat penting untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan taktik penegakan hukum. Dialog konstruktif antara aparat dan masyarakat, serta reformasi sistematis dalam struktur kekuasaan, harus segera diupayakan.
Mahasiswa dan polisi, alih-alih berseberangan, seharusnya dibebaskan dari peran politik semu yang menjerat mereka. Keduanya harus mendapatkan perlindungan dan dukungan agar dapat menjalankan fungsi idealnya, mahasiswa sebagai agen perubahan dan polisi sebagai penegak keadilan.
Dengan mengembalikan peran masing-masing ke esensinya, kita dapat mencegah terulangnya bayang-bayang masa lalu yang kelam dan memastikan bahwa suara rakyat tidak pernah lagi dibungkam oleh kekuatan otoriter.
.png)