Era reformasi yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade kini kembali disorot dengan munculnya istilah “Neo Orde Baru” sebagai label kritis terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Tuduhan tersebut muncul dari sejumlah politisi dan pengamat yang melihat adanya kemiripan dengan gaya kepemimpinan era Orde Baru, yakni pemerintahan otoriter di bawah Presiden Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
Namun, di balik kontroversi ini terdapat perdebatan sengit antara kelompok pendukung dan penentang mengenai arti dan implikasi nyata dari kebijakan pemerintahan Prabowo.
Latar Belakang Istilah Neo Orde Baru
Istilah “Orde Baru” identik dengan rezim yang mengutamakan stabilitas politik dan keamanan melalui sentralisasi kekuasaan serta keterlibatan militer dalam berbagai aspek pemerintahan.
Dengan berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan desentralisasi dan penguatan demokrasi.
Kini, munculnya istilah “Neo Orde Baru” mencerminkan kekhawatiran bahwa beberapa ciri khas masa lampau, seperti dominasi militer dan birokrasi yang kaku, mungkin kembali muncul dalam bentuk yang lebih modern.
Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, pernah menyebut pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka sebagai cerminan “neo Orde Baru masa kini,” yang dianggap mencerminkan kecenderungan untuk mengembalikan sistem otoriter dan sentralistik.
Tuduhan ini didasari oleh sejumlah kebijakan dan langkah politis yang dinilai menyerupai praktik-praktik pada era Orde Baru, seperti keterlibatan aktif militer dalam pemerintahan dan struktur kabinet yang didominasi oleh figur-figur militer.
Kebijakan dan Struktur Pemerintahan di Era Prabowo
Pemerintahan Prabowo telah melakukan sejumlah inovasi sekaligus kontroversi, mulai dari restrukturisasi kabinet hingga revisi undang-undang militer. Di antaranya:
- Revisi Undang-Undang TNI: Pemerintahan Prabowo mendorong revisi terhadap undang-undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memungkinkan perwira aktif untuk mengisi posisi-posisi di sektor sipil. Kebijakan ini memicu kekhawatiran mengenai potensi munculnya dual loyalitas antara tugas militer dan fungsi sipil, yang pernah menjadi ciri khas pada masa Orde Baru.
- Kabinet “Merah Putih”: Struktur kabinet yang dibentuk Prabowo, dengan dominasi figur-figur dari latar belakang militer dan penataan ulang beberapa kementerian, dinilai oleh sebagian pengkritik sebagai upaya mengembalikan pola birokrasi otoriter. Kritikus berpendapat bahwa penyusunan kabinet yang dinilai “gemuk” dan terfragmentasi menunjukkan kecenderungan sentralisasi kekuasaan yang mengingatkan pada era Orde Baru.
- Kebijakan Ekonomi dan Sosial: Program-program unggulan seperti penyediaan makanan bergizi gratis untuk pelajar (MBG) mengusung visi pembangunan modal manusia yang pernah diemban melalui program PMT-AS di era Orde Baru. Meskipun dengan pendekatan yang lebih terdesentralisasi dan berbasis data, kebijakan ini masih memicu perdebatan apakah semangat pembangunan tersebut juga mengandung elemen-elemen otoriter dari masa lalu.
Perdebatan Politik: Neo Orde Baru atau New Reformasi?
Di satu sisi, pihak oposisi, terutama dari kalangan PDI-P, menganggap bahwa gaya kepemimpinan Prabowo mengandung bayang-bayang Orde Baru yang akan membawa Indonesia ke arah otoritarianisme.
Sebaliknya, pihak pendukung seperti Partai Gerindra menolak label tersebut. Wakil Ketua Umum Gerindra, Habiburokhman, menyatakan bahwa pernyataan tentang “neo Orde Baru” hanyalah retorika politik yang menunjukkan kurangnya kepercayaan diri dari lawan politik.
Menurutnya, Prabowo akan tetap menanggapi segala tudingan dengan senyuman bahkan dengan “jogetan” sebagai bentuk ejekan terhadap kritik-kritik tersebut.
Selain itu, ada pula argumen bahwa kebijakan yang diusung Prabowo merupakan adaptasi dari kebutuhan zaman modern, dengan upaya memperbaiki birokrasi, efisiensi anggaran, dan penekanan pada pemberdayaan masyarakat melalui program-program inovatif.
Para pendukung berpendapat bahwa meskipun terdapat kemiripan terminologis, konteks dan implementasi kebijakan di era Prabowo jauh berbeda dengan masa Orde Baru, yang sarat dengan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tantangan dan Implikasi ke Depan
Munculnya label “Neo Orde Baru” menandakan betapa sensitifnya perdebatan mengenai masa depan sistem pemerintahan Indonesia.
Di tengah tuntutan untuk menjaga demokrasi dan supremasi sipil, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan reformasi birokrasi dan integrasi militer ke dalam sistem pemerintahan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak era reformasi.
Kekhawatiran masyarakat juga muncul terkait potensi terjadinya penurunan kualitas pelayanan publik akibat kebijakan efisiensi anggaran yang drastis.
Protes dan unjuk rasa yang kerap terjadi di kalangan mahasiswa dan buruh merupakan indikasi bahwa harapan dan ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan harus dijaga dengan baik agar tidak terjerumus kembali ke praktik-praktik yang mengabaikan aspirasi rakyat.
Label “Neo Orde Baru” merupakan cermin dari kekhawatiran historis akan kembalinya praktik-praktik otoriter dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Pemerintahan Prabowo Subianto, dengan latar belakang militer dan kebijakan-kebijakan yang kontroversial, memicu perdebatan sengit antara mereka yang melihatnya sebagai kelanjutan dari Orde Baru dan mereka yang menilai bahwa ini adalah era baru dengan semangat reformasi.
Tantangan utama ke depan adalah menjaga keseimbangan antara efisiensi pemerintahan dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia, agar Indonesia tidak kembali ke masa lalu yang kelam.
